Menghapus Sketsa(l)

Wednesday, September 24, 2014


Terhitung setahun sejak Ia membeli benda yang begitu Ia idamkan. Dan sudah setahun pula Ia selalu memandangi benda itu di atas tumpukan benda-benda lain yang kurang berarti. Seakan tak ingin kehilangan rasa cintanya itu, Ia senantiasa menyempatkan waktu untuk berdiri dari nyamannya kursi, hanya untuk sekedar mengamati benda itu sedari dekat, serta, lima menit kemudian, mengambil kemoceng kecil untuk membersihkannya dari debu.

Ia selalu mengunjungi benda itu layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk musim. Tak mungkin rasanya Ia berpisah dengan benda yang telah menambat kekagumannya, menjadi inspirasinya, memacu imajinasinya, dan menyandera kenangannya.

Mungkin firasat sedang bercanda dan iseng di sore hari itu. Di bawah langit yang berwarna biru-ungu-jingga, Ia melepaskan beda itu pada seseorang teman yang mungkin juga sedang dengan iseng berkonspirasi dengan keisengan sang firasat.

Tak terpikir olehnya saat itu bahwa Ia akan menjadi seperti seorang Robert dan terus menanti-nantikan Clara, sang inspirasinya yang tengah disandera ayahnya, untuk jatuh ke dalam pelukannya kembali (kembali karena diasumsikan paling tidak mereka sudah berpelukan satu kali sebelum direstui untuk menikah. Robert kan sudah sering ke rumah Clara).

Satu tahun sudah penantiannya. Firasat telah insaf dan kembali membawakan potongan-potongan fakta yang ia sembunyikan dari mata pikiran dan mata hati. Bergegas Ia menelepon seseorang teman ini untuk segera mengembalikan benda, yang Ia sadari sekarang sedari awal memang dipinjam tanpa harga apresiasi, alias iseng itulah.

Serendah harga apresiasi seseorang teman inilah juga kepeduliannya tentang waktu penantian. Berbulan seseorang teman ini habiskan untuk, ujarnya, "Menyelesaikan kekaguman saya akan milik anda ini."

Terbersit di benak Ia bahwa, "Mungkin seseorang teman saya ini meminjam benda itu atas dasar kekaguman pada saya, dan berakhir pula harga apresiasi benda itu bersamaan dengan pertemanan saya dan seseorang teman ini."

Mungkin memang begitu. Jika tidak, apakah ada keperluan bagi seseorang untuk menghabiskan dan menyelesaikan sisa kekagumannya kepada sesuatu yang seharusnya mengagumkan baginya? Bagi Ia, menyelesaikan sama dengan mengakhiri dan memusnahkan karena sudah tiada lagi kenangan sejarah yang berarti.

Ah, Ia tak peduli. Satu-satunya hal yang masih menambat kekagumannya adalah benda itu. Maka hanya benda itu yang Ia nantikan.

Serasa lewat sedasawarsa, akhirnya Ia kembali mengagumi benda itu. Namun ada tambahan tak artistik yang melanggar sopan santun di sana.

Sepertinya seseorang teman ini ingin mengekspresikan kekagumannya yang ternyata tersendat di tengah jalan; kekaguman yang lebih subyektif dari subyektifitas, yang berusaha seseorang teman ini tinggalkan untuk diperhatikan.

Tak pikir panjang dan banyak melihat, Ia menghapus sketsa kekaguman dan pencemaran yang subyektif itu dengan penghapus. Namun Ia tahu, seseorang teman ini belum menyelesaikan kekagumannya pada Ia. Karena seseorang teman ini tidak menyelesaikan, maupun menghapus sketsa yang tersendat di tengah jalan itu.

0 comments: