Mengkritisi Institusi Pendidikan Indonesia: "Dedikasi yang Hilang (Sadarkah Mereka?)"

Thursday, September 25, 2014


Terlahir sebagai anak pertama yang mendapatkan atensi penuh dari orangtua membuat saya jadi anak yang egois (sedikit kok) dan menyukai kemudahan. Sampai pertengahan usia belasan, saya secara tidak sadar selalu "diselamatkan" oleh keadaan (yang kembali lagi diadakan oleh orangtua saya melalui orang lain). Ini membuat saya menjadi anak yang sok mandiri, yang, akan tetapi, teledor.

Di masa SD saya sudah banyak kehilangan barang. Saya kehilangan dompet, looseleaf berisi kertas warna-warni (dulu kepemilikan looseleaf yang tebal dan berisi kertas dengan bermacam gambar dan warna menjadikanmu salah satu orang terkeren disamping pemilik handphone dan endorser barang-barang Planet Surf), dan tepak penuh dengan bolpoin warna yang saking penuhnya retsleting pun meregang nyawa untuk menjaganya untuk tetap tertutup.

Namun itu adalah keteledoran yang 30% kesalahan saya dan 70% niat buruk si pencuri. 30% karena saya membawanya ke sekolah, bertukar koleksi (memamerkannya), dan meninggalkannya saat jam istirahat.

Saat saya masuk SMA, saya merantau jauh dari rumah, hidup sendiri (tetap dengan diselamatkan oleh katering dari budhe saya), dan belajar untuk sedikit lebih bertanggung jawab. Saya tidak kecolongan apapun, namun saya malah naik level rupanya.

Beberapa barang saya menghilang di dalam kamar saya sendiri, tepat setelah saya gunakan. Barang-barang seperti modem, kaus kaki, sampai pinset yang tidak pernah saya bawa keluar dari kamar menghilang, membuat saya mengobrak-abrik seluruh isi kamar. Saya sempat percaya teori dari suatu novel fiksi karya Cecelia Ahern, "A Place Called Here" bahwa ada suatu tempat di ujung dunia sana yang adalah semacam lubang hitam yang menarik masuk barang-barang sehingga hilang secara misterius.

Namun terkadang benda yang saya kira sudah harus direlakan muncul lagi di tempat yang tidak wajar. Seperti ketika saya menemukan kalung saya di kotak sepatu. Aneh ya?

Ketika kita kehilangan suatu benda, kita akan menyadarinya karena munculnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena ketiadaan fisik benda itu. Itulah yang memercikkan kesadaran kita. Kebutuhan namun ketersediaan yang nihil, padahal di benak asumtif kita, harusnya ada.

Itu juga yang terjadi di banyak aspek di Indonesia. Ambil contoh, pendidikan. Ibaratkan guru dan fasilitas institusi pendidikan sebagai barang atau komoditas. Sejauh kita tidak membutuhkannya, kita akan terjerat ilusi bahwa barang itu, guru dan fasilitasnya tersedia dengan baik. Namun ketika kita akan masuk, atau sudah masuk ke dalam institusi pendidikan tersebut, barulah kita menyadari bahwa komoditas yang kita perlukan tidak tersedia. Ironisnya yang paling menyadarinya adalah siswa-siswa. Karena kami lah yang membutuhkan. Berbagai cara kami pakai untuk menyadarkan institusi dan pemerintah bahwa ada absensi dalam komoditas, atau adanya komoditas, namun absennya kualitas. Namun percuma, mereka tidak membutuhkannya. Tidak akan ada percikan kesadaran.

Contoh lain adalah perusahaan multinasional di Indonesia. Mengapa Sampoerna Group, Kompas Gramedia, dan Ciputra Group mendirikan universitas yang mereka kelola sendiri? Karena mereka sadar bahwa berkembangnya perusahaan bergantung pada sumber daya manusia yang kompeten, dan mereka tidak puas dengan sdm yang ada, maka dari itu mereka menciptakan sdm yang mereka bina sendiri, yang diharapkan hasilnya sesuai dengan ekspektasi standar perusahaan masing-masing.

Lalu kemanakah orang-orang berkompeten yang seharusnya masih ada di Indonesia? Ketika kita bertanya seperti ini, terkesan seperti Indonesia lah yang kehilangan mereka. Namun jauh sebelum itu, hati mereka telah kehilangan kepercayaan terlebih dahulu, bahwa Indonesia, secara sadar atau tidak sadar, tetap membutuhkan mereka. Namun memang sulit untuk tetap bertahan saat kehadiran kita tidak disadari, tidak dihargai, dan tidak difasilitasi. Hanya dedikasi atau comfort zone yang akan menambat pengabdian.

Karena tidak mendapat penghargaan dan merasa tidak dibutuhkan, para tenaga ahli ini tertarik oleh magnet alam, tersedot masuk ke lubang hitam, ke tempat nun jauh disana, melintasi langit dan awan, di mana di sana memang mereka yang dulunya terbengkalai dan kemudian dianggap hilang di tempat asalnya, kini mendapat tempat dan pengakuan yang sepantasnya.

0 comments: