Showing posts with label Criticism. Show all posts
Showing posts with label Criticism. Show all posts

Keseharian Pengangguran

Tuesday, January 27, 2015

0 comments


Hidup untuk apa,
berhari sok bertapa
Pusing berkeladi,
hati mati geni

Hidup untuk apa
Pergi beli jiwa,
pulang makan debu,
tapi menggebu gebu

Tiap hari bingung,
mulut mendengung
Tanya sanasini,
cari kabar terkini

Tiap hari bingung
Jari sibuk ngusung,
almunium kotak,
seolah sibuk berotak

Itu baru yang nampak berdiri saja

Yang sambil berjongkok di bawah meja

Tidak disaring

Lebih nyaring!

Sendiri pusingkan
Huruf kata cakapan,
tempat uri dipendam,
seolah ada dendam

Sendiri pusingkan
Darah di jalinan,
susunan kromosom,
dan kandungan krom

Apa perlu berkusuk,
tebarkan abab busuk
Bak seles parfum,
produk pun tak mafhum

Apa perlu berkusuk,
muasal tulang rusuk
Dan siapa yang beri,
nafas pertama kami

Saat lantangkan,
wakili keadilan
Marah sebesar Babel,
jerit tiga desibel

Saat lantangkan
Macak jurnalis koran,
terbit kata santer,
hak cipta twitter

* * *

“Sibuk sekali hari ini,”
kata remaja masa kini
“Banyak soal, negri ini akut,”

kata pengangguran, kelewat bangkrut

Paradoks

Thursday, November 20, 2014

0 comments

PARADOKS

Aku mengerti
tetapi aku juga tidak mengerti

Mengapa?

Karena aku
tidak mengerti dalam kemengertian
dan
mengerti untuk tidak mengerti

Mengapa?

Kuakui,

alasan sedang mencari alasan
dan jawaban tidak menjawab

Mengapa begitu?

Jika alasan mencari alasan
dan jawaban menolak menjawab
Maka hatilah sebabnya

Pikiran membenahi alasan
beri justifikasi hati

Ada apa dengan hati?

Sepertinya hati sedang tak puas
dan
ketidakpuasan
sedang mencari hati

(Tembi, 2014)

Mengkritisi Institusi Pendidikan Indonesia: "Dedikasi yang Hilang (Sadarkah Mereka?)"

Thursday, September 25, 2014

0 comments

Terlahir sebagai anak pertama yang mendapatkan atensi penuh dari orangtua membuat saya jadi anak yang egois (sedikit kok) dan menyukai kemudahan. Sampai pertengahan usia belasan, saya secara tidak sadar selalu "diselamatkan" oleh keadaan (yang kembali lagi diadakan oleh orangtua saya melalui orang lain). Ini membuat saya menjadi anak yang sok mandiri, yang, akan tetapi, teledor.

Di masa SD saya sudah banyak kehilangan barang. Saya kehilangan dompet, looseleaf berisi kertas warna-warni (dulu kepemilikan looseleaf yang tebal dan berisi kertas dengan bermacam gambar dan warna menjadikanmu salah satu orang terkeren disamping pemilik handphone dan endorser barang-barang Planet Surf), dan tepak penuh dengan bolpoin warna yang saking penuhnya retsleting pun meregang nyawa untuk menjaganya untuk tetap tertutup.

Namun itu adalah keteledoran yang 30% kesalahan saya dan 70% niat buruk si pencuri. 30% karena saya membawanya ke sekolah, bertukar koleksi (memamerkannya), dan meninggalkannya saat jam istirahat.

Saat saya masuk SMA, saya merantau jauh dari rumah, hidup sendiri (tetap dengan diselamatkan oleh katering dari budhe saya), dan belajar untuk sedikit lebih bertanggung jawab. Saya tidak kecolongan apapun, namun saya malah naik level rupanya.

Beberapa barang saya menghilang di dalam kamar saya sendiri, tepat setelah saya gunakan. Barang-barang seperti modem, kaus kaki, sampai pinset yang tidak pernah saya bawa keluar dari kamar menghilang, membuat saya mengobrak-abrik seluruh isi kamar. Saya sempat percaya teori dari suatu novel fiksi karya Cecelia Ahern, "A Place Called Here" bahwa ada suatu tempat di ujung dunia sana yang adalah semacam lubang hitam yang menarik masuk barang-barang sehingga hilang secara misterius.

Namun terkadang benda yang saya kira sudah harus direlakan muncul lagi di tempat yang tidak wajar. Seperti ketika saya menemukan kalung saya di kotak sepatu. Aneh ya?

Ketika kita kehilangan suatu benda, kita akan menyadarinya karena munculnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena ketiadaan fisik benda itu. Itulah yang memercikkan kesadaran kita. Kebutuhan namun ketersediaan yang nihil, padahal di benak asumtif kita, harusnya ada.

Itu juga yang terjadi di banyak aspek di Indonesia. Ambil contoh, pendidikan. Ibaratkan guru dan fasilitas institusi pendidikan sebagai barang atau komoditas. Sejauh kita tidak membutuhkannya, kita akan terjerat ilusi bahwa barang itu, guru dan fasilitasnya tersedia dengan baik. Namun ketika kita akan masuk, atau sudah masuk ke dalam institusi pendidikan tersebut, barulah kita menyadari bahwa komoditas yang kita perlukan tidak tersedia. Ironisnya yang paling menyadarinya adalah siswa-siswa. Karena kami lah yang membutuhkan. Berbagai cara kami pakai untuk menyadarkan institusi dan pemerintah bahwa ada absensi dalam komoditas, atau adanya komoditas, namun absennya kualitas. Namun percuma, mereka tidak membutuhkannya. Tidak akan ada percikan kesadaran.

Contoh lain adalah perusahaan multinasional di Indonesia. Mengapa Sampoerna Group, Kompas Gramedia, dan Ciputra Group mendirikan universitas yang mereka kelola sendiri? Karena mereka sadar bahwa berkembangnya perusahaan bergantung pada sumber daya manusia yang kompeten, dan mereka tidak puas dengan sdm yang ada, maka dari itu mereka menciptakan sdm yang mereka bina sendiri, yang diharapkan hasilnya sesuai dengan ekspektasi standar perusahaan masing-masing.

Lalu kemanakah orang-orang berkompeten yang seharusnya masih ada di Indonesia? Ketika kita bertanya seperti ini, terkesan seperti Indonesia lah yang kehilangan mereka. Namun jauh sebelum itu, hati mereka telah kehilangan kepercayaan terlebih dahulu, bahwa Indonesia, secara sadar atau tidak sadar, tetap membutuhkan mereka. Namun memang sulit untuk tetap bertahan saat kehadiran kita tidak disadari, tidak dihargai, dan tidak difasilitasi. Hanya dedikasi atau comfort zone yang akan menambat pengabdian.

Karena tidak mendapat penghargaan dan merasa tidak dibutuhkan, para tenaga ahli ini tertarik oleh magnet alam, tersedot masuk ke lubang hitam, ke tempat nun jauh disana, melintasi langit dan awan, di mana di sana memang mereka yang dulunya terbengkalai dan kemudian dianggap hilang di tempat asalnya, kini mendapat tempat dan pengakuan yang sepantasnya.

Menghapus Sketsa(l)

Wednesday, September 24, 2014

0 comments

Terhitung setahun sejak Ia membeli benda yang begitu Ia idamkan. Dan sudah setahun pula Ia selalu memandangi benda itu di atas tumpukan benda-benda lain yang kurang berarti. Seakan tak ingin kehilangan rasa cintanya itu, Ia senantiasa menyempatkan waktu untuk berdiri dari nyamannya kursi, hanya untuk sekedar mengamati benda itu sedari dekat, serta, lima menit kemudian, mengambil kemoceng kecil untuk membersihkannya dari debu.

Ia selalu mengunjungi benda itu layaknya sepasang kekasih yang sedang dimabuk musim. Tak mungkin rasanya Ia berpisah dengan benda yang telah menambat kekagumannya, menjadi inspirasinya, memacu imajinasinya, dan menyandera kenangannya.

Mungkin firasat sedang bercanda dan iseng di sore hari itu. Di bawah langit yang berwarna biru-ungu-jingga, Ia melepaskan beda itu pada seseorang teman yang mungkin juga sedang dengan iseng berkonspirasi dengan keisengan sang firasat.

Tak terpikir olehnya saat itu bahwa Ia akan menjadi seperti seorang Robert dan terus menanti-nantikan Clara, sang inspirasinya yang tengah disandera ayahnya, untuk jatuh ke dalam pelukannya kembali (kembali karena diasumsikan paling tidak mereka sudah berpelukan satu kali sebelum direstui untuk menikah. Robert kan sudah sering ke rumah Clara).

Satu tahun sudah penantiannya. Firasat telah insaf dan kembali membawakan potongan-potongan fakta yang ia sembunyikan dari mata pikiran dan mata hati. Bergegas Ia menelepon seseorang teman ini untuk segera mengembalikan benda, yang Ia sadari sekarang sedari awal memang dipinjam tanpa harga apresiasi, alias iseng itulah.

Serendah harga apresiasi seseorang teman inilah juga kepeduliannya tentang waktu penantian. Berbulan seseorang teman ini habiskan untuk, ujarnya, "Menyelesaikan kekaguman saya akan milik anda ini."

Terbersit di benak Ia bahwa, "Mungkin seseorang teman saya ini meminjam benda itu atas dasar kekaguman pada saya, dan berakhir pula harga apresiasi benda itu bersamaan dengan pertemanan saya dan seseorang teman ini."

Mungkin memang begitu. Jika tidak, apakah ada keperluan bagi seseorang untuk menghabiskan dan menyelesaikan sisa kekagumannya kepada sesuatu yang seharusnya mengagumkan baginya? Bagi Ia, menyelesaikan sama dengan mengakhiri dan memusnahkan karena sudah tiada lagi kenangan sejarah yang berarti.

Ah, Ia tak peduli. Satu-satunya hal yang masih menambat kekagumannya adalah benda itu. Maka hanya benda itu yang Ia nantikan.

Serasa lewat sedasawarsa, akhirnya Ia kembali mengagumi benda itu. Namun ada tambahan tak artistik yang melanggar sopan santun di sana.

Sepertinya seseorang teman ini ingin mengekspresikan kekagumannya yang ternyata tersendat di tengah jalan; kekaguman yang lebih subyektif dari subyektifitas, yang berusaha seseorang teman ini tinggalkan untuk diperhatikan.

Tak pikir panjang dan banyak melihat, Ia menghapus sketsa kekaguman dan pencemaran yang subyektif itu dengan penghapus. Namun Ia tahu, seseorang teman ini belum menyelesaikan kekagumannya pada Ia. Karena seseorang teman ini tidak menyelesaikan, maupun menghapus sketsa yang tersendat di tengah jalan itu.

Graduates: Holder of Degree or Dignity?

Saturday, November 16, 2013

0 comments
Floating mortarboards
Hundreds of awards

Colorful dresses
Joyful faces

Tears of victory
Grade: satisfactory

She throws her hands up
He calls his beloved up

Ella Summa cum laude (She graduates with a summa cum laude)
El suma dificultad  (He has so much difficulties to graduate)

Who knows
What each went through

She asks for consent
He fights for consent

She pleases with smiles
He gratifies in sweats

Both have degrees

But dignity bestows
Upon those with efforts

(A piece of thought from a night phone call:
Evaluating a case: a thesis presentation was held and the things that were questioned were mainly focused on the quantity and appearance of presentation and less on the quality of the written content: Were the examiner aware that graduates' dignity was at stake?
Proceeding the latter, upon hearing stories of those graduating from the above institution, which does not apply suitable standards for its graduates, a question regarding the purpose of graduating arouses: Is graduating just for the sake of a degree or for one's own worth of dignity?

Dunia ini

Sunday, July 14, 2013

0 comments
Aku bahagia, telah terlahir di dunia ini
Beralaskan tanah, beratapkan bayang dedaunan serta bermanjakan belai padi

Aku bahagia, telah terlahir di dunia ini
Bermandikan hujan emosi, harapan dan cita-cita 

Aku bahagia, telah terlahir di dunia ini
Berlari mencari mata air, mengejar mimpi dan cinta

Namun aku tak pernah tahu
Bahwa tanah yang kupijak
Hujan impian yang membasahiku
Dan mata air yang kucari
Telah direnggut
Oleh mereka
Yang haus akan tanah, hujan, dan mata airku
Mereka
Yang merobek tanah, meracuni hujan, dan mengotori mata airku
Mereka
Yang menebarkan rajutan kapas berseri, serta pestisida bermerk
Mereka
Yang dahulu
Terlahir sama sepertiku
Akankah aku bahagia, terlahir esok hari di dunia ini?


(Puisi ini ditulis sebagai kritik terhadap para koruptor yang baru-baru ini 'marak' menghiasi layar kaca dan media cetak. 'Mereka' yang terus menerus membuat proyek dan menambah properti yang merusak lingkungan; 'Mereka' yang dengan sesuka hati menyirami diri dengan kemewahan dari uang kotor; 'Mereka' yang mendegradasikan fasilitas yang harusnya sepadan dengan pajak yang dibayarkan rakyat; 'Mereka' yang mencuri hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan dan masa depan yang lebih baik. Bisa jadi novel berseri jika masalah korupsi ini didongengkan. Singkatnya, memang sudah tidak jelas sistem pemerintahan, advokasi, dan demokrasi di negeri ini.)